Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia, kembali memicu polemik di tengah masyarakat. Di satu sisi, ada pihak yang menganggap Soeharto layak dikenang karena jasa-jasanya membangun ekonomi nasional. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang mengecam gagasan ini sebagai bentuk pemutihan kejahatan Orde Baru, terutama dalam hal pelanggaran HAM dan otoritarianisme yang terjadi selama 32 tahun pemerintahannya.
Kontras Respons: Antara Apresiasi dan Penolakan
Wacana ini muncul dalam beberapa kesempatan, baik dari tokoh politik, keluarga Cendana, hingga beberapa kalangan birokrat. Mereka menilai Soeharto sebagai sosok yang berhasil membangun stabilitas ekonomi, swasembada pangan, serta menjaga ketertiban nasional. Bahkan, beberapa menyebutnya sebagai “Bapak Pembangunan.”
Namun, transisi dari pujian ke kritik terjadi sangat cepat. Banyak aktivis HAM, akademisi, dan korban pelanggaran hak asasi di era Orde Baru menyuarakan penolakan keras. Mereka menilai, memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tanpa mengakui dosa masa lalunya sama dengan menghapus sejarah kelam bangsa secara sepihak.
“Soeharto adalah simbol kekuasaan yang menindas. Memberi gelar pahlawan tanpa rekonsiliasi dan keadilan adalah bentuk pembelokan sejarah,” tegas Koordinator KontraS.
Kejahatan Orde Baru: Fakta yang Tak Bisa Disangkal
Pemerintahan Soeharto tidak lepas dari sederet kasus pelanggaran HAM berat, seperti Tragedi 1965, pembungkaman aktivis, penculikan mahasiswa 1998, dan pelarangan kebebasan berekspresi. Belum lagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakar kuat di masa pemerintahannya.
Menariknya, meski sudah lebih dari dua dekade Orde Baru tumbang, pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran tersebut belum sepenuhnya dituntaskan. Hal ini membuat wacana pemberian gelar pahlawan terasa seperti luka lama yang kembali dibuka tanpa penyembuhan.
Apakah Ini Upaya Pemutihan Sejarah?
Banyak pihak melihat wacana ini sebagai bagian dari upaya rekayasa memori kolektif, di mana tokoh kontroversial coba dipoles dengan narasi kepahlawanan. Jika tidak disertai dengan pengakuan atas kesalahan masa lalu, maka gelar pahlawan akan kehilangan makna sejatinya: sebagai simbol perjuangan tanpa cela.
Transisi wacana ini menjadi semakin berbahaya jika dijadikan alat politik untuk membenarkan sistem represif yang dulu pernah ada. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus tetap kritis dan mendorong agar proses penilaian tokoh sejarah dilakukan secara objektif, transparan, dan melibatkan berbagai pihak—terutama korban rezim yang bersangkutan.
Kesimpulan: Pahlawan Harus Tanpa Luka Bangsa
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah ujian moral dan sejarah bagi bangsa Indonesia. Apakah kita memilih mengingat hanya yang manis, ataukah berani mengakui semua sisi dari masa lalu, termasuk yang kelam?
Jika bangsa ini ingin benar-benar berdamai dengan sejarahnya, maka penghargaan kepada tokoh masa lalu harus melewati proses reflektif, bukan politis. Karena pahlawan sejati adalah mereka yang tidak menyisakan trauma bagi bangsanya.