Percepatan pembahasan RUU Penyesuaian Pidana oleh DPR tidak hanya menimbulkan perdebatan dari sisi substansi hukum, tetapi juga dari sisi kepercayaan publik terhadap proses legislasi. Dalam sistem demokrasi, kepercayaan publik merupakan fondasi penting yang menentukan legitimasi setiap kebijakan dan undang-undang. Ketika sebuah RUU dibahas secara cepat, publik cenderung mempertanyakan motif, transparansi, serta kualitas dari legislasi tersebut.
Salah satu dampak utama dari percepatan legislasi adalah meningkatnya kecurigaan publik terhadap motif di baliknya. Banyak warga menilai bahwa percepatan yang dilakukan tanpa penjelasan komprehensif dapat menandakan adanya kepentingan tertentu yang ingin dipenuhi. Sikap curiga ini muncul terutama karena masyarakat tidak memperoleh akses memadai terhadap proses pembahasan, termasuk draf terbaru dan catatan perdebatan di ruang sidang. Minimnya ruang partisipasi semakin memperburuk persepsi bahwa legislasi dilakukan di balik pintu tertutup.
Kritik lain menyebutkan bahwa kecepatan pembahasan sering kali berbanding terbalik dengan kualitas legislasinya. Dalam banyak kasus, undang-undang yang disahkan secara terburu-buru harus direvisi atau diuji materi di Mahkamah Konstitusi karena ditemukan pasal bermasalah. Setiap kali hal ini terjadi, kepercayaan publik terhadap DPR semakin pudar. Masyarakat menilai bahwa lembaga legislatif tidak cukup berhati-hati dalam merancang kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Di tengah ketidakpuasan tersebut, beberapa pihak di DPR berupaya membangun narasi bahwa percepatan merupakan bagian dari komitmen untuk merespons perkembangan zaman. RUU Penyesuaian Pidana dianggap penting untuk menyesuaikan aturan hukum dengan dinamika sosial serta kemajuan teknologi. Namun narasi ini tidak akan efektif jika tidak diiringi dengan proses yang transparan dan partisipatif. Publik membutuhkan bukti, bukan hanya pernyataan formal.
Dampak jangka panjang dari penurunan kepercayaan publik dapat mempengaruhi stabilitas demokrasi. Ketika masyarakat merasa tidak dilibatkan, mereka akan kehilangan rasa memiliki terhadap undang-undang yang berlaku. Hal ini dapat menimbulkan resistensi sosial, penolakan terhadap implementasi, bahkan erosi legitimasi lembaga negara. Dalam konteks hukum pidana, ketidakpercayaan publik dapat mempersulit penegakan hukum karena masyarakat menjadi kurang yakin terhadap keadilan sistem tersebut.
Untuk mencegah erosi kepercayaan publik, DPR perlu mengedepankan transparansi dan membuka ruang partisipasi seluas mungkin. Publik tidak menuntut proses yang lambat, tetapi proses yang jelas, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika percepatan dilakukan dengan prinsip-prinsip tersebut, maka kepercayaan publik dapat tetap terjaga, bahkan meningkat, karena masyarakat melihat adanya komitmen untuk membangun legislasi yang berkualitas.












