Pada masa kepresidenannya, Donald Trump mengambil sejumlah kebijakan yang mempengaruhi hubungan luar negeri Amerika Serikat, termasuk keputusan untuk membekukan bantuan asing. Salah satu dampak terbesar dari kebijakan ini dirasakan oleh sektor kesehatan global, khususnya dalam penanggulangan HIV/AIDS. Bagi pasien HIV, keputusan tersebut menambah ketidakpastian, mengingat banyak negara berkembang yang bergantung pada bantuan internasional untuk pengobatan dan perawatan penyakit ini.
Bantuan asing, terutama dari pemerintah Amerika Serikat melalui program seperti PEPFAR (President’s Emergency Plan for AIDS Relief), telah memainkan peran vital dalam upaya global untuk menanggulangi epidemi HIV. Sejak diluncurkan pada tahun 2003, PEPFAR telah memberikan bantuan signifikan kepada negara-negara dengan tingkat infeksi HIV yang tinggi, seperti Afrika Sub-Sahara dan beberapa negara di Asia dan Amerika Latin. Program ini tidak hanya menyediakan obat-obatan antiretroviral (ARV) tetapi juga memberikan pendidikan pencegahan dan mendukung pembangunan infrastruktur kesehatan untuk pengobatan jangka panjang.
Namun, pada 2017, Trump mengumumkan kebijakan luar negeri yang mengejutkan dengan membekukan sejumlah besar dana bantuan internasional. Kebijakan ini termasuk pemangkasan anggaran untuk PEPFAR, yang berisiko menghambat pengobatan dan perawatan untuk pasien HIV di banyak negara yang tergantung pada bantuan tersebut. Pembekuan ini menjadi beban tambahan bagi pasien HIV yang sudah terpengaruh oleh stigma, ketidakpastian, dan kurangnya fasilitas medis yang memadai.
Bagi pasien HIV, pembekuan bantuan asing berarti kesulitan dalam mendapatkan obat-obatan yang sangat diperlukan untuk menjaga viral load mereka tetap terkendali. Tanpa akses yang konsisten ke pengobatan ARV, pasien berisiko mengalami perkembangan penyakit yang lebih cepat, meningkatkan kemungkinan penularan HIV ke orang lain. Hal ini juga memperburuk masalah kesehatan masyarakat global, karena HIV tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian di negara-negara dengan tingkat infeksi yang tinggi.
Selain masalah kesehatan, keputusan ini juga menciptakan ketegangan politik di antara negara-negara penerima bantuan. Negara-negara yang telah menerima dukungan besar dari Amerika Serikat dalam penanggulangan HIV merasa terabaikan, dan beberapa dari mereka mulai mencari mitra internasional baru untuk mendanai program-program kesehatan mereka. Meski demikian, pemangkasan ini tidak hanya memengaruhi sektor kesehatan, tetapi juga memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di negara-negara yang telah terbiasa dengan bantuan asing.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan kebijakan Trump ini. Para aktivis dan organisasi kesehatan internasional mengkritik keputusan tersebut dengan keras. Mereka menekankan bahwa pembekuan bantuan hanya akan memperburuk situasi krisis kesehatan global, yang sudah berada di ambang batas. Dalam responsnya, banyak lembaga kesehatan dan organisasi non-pemerintah berupaya menggandeng sektor swasta dan pemerintahan negara-negara lain untuk membantu menutupi kekurangan dana yang ditinggalkan oleh Amerika Serikat.
Pada akhirnya, meski Trump mengklaim bahwa kebijakan ini akan memberi dorongan bagi negara-negara untuk lebih mandiri, kenyataannya banyak negara yang masih sangat bergantung pada bantuan asing untuk pengobatan penyakit kronis seperti HIV. Tanpa adanya kebijakan yang menyokong keberlanjutan bantuan ini, pasien HIV di negara-negara berkembang berada dalam posisi yang semakin rentan. Hingga saat ini, dampak dari kebijakan ini masih terasa dan memerlukan perhatian serius dari komunitas internasional untuk memastikan keberlanjutan upaya penanggulangan HIV/AIDS di seluruh dunia.